Literasi Rakyat Merupakan blog yang memuat tulisan-tulisan artikel opini tentang pendidikan, petualangan, karya puitis serta informasi berita-berita secara umum.

Breaking

Post Top Ad

Your Ad Spot

Monday, April 15, 2019

Pilpres dan Pendidikan Pancasila


 
Oleh : Agil Nanggala, S.Pd.

Peran ideologi sangat vital bagi peradaban bangsa, karena memberi pedoman untuk hidup, serta menentukan arah pembangunan. Indonesia telah sepakat menggunakan Pancasila sebagai ideologi bangsa, karena diterima oleh semua kalangan, serta bersumber dari kebudayaan bangsa itu sendiri. 

Tidak diperhatikan pada Pilpres
            Debat calon Presiden pada Sabtu, 30 Maret 2019, yang mengangkat tema seputar ideologi dan keamanan, seharusnya menjadi debat menarik, karena merepresentasikan bagaimana calon memandang ideologi negara, serta turut mengenalkannya pada khalayak umum.
            Tetapi yang disuguhkan, hanya pernyataan-pernyataan yang normatif dan umum, konsep Pancasila yang tidak dielaborasi oleh para calon, menjadi sebuah kekecewaan bagi publik tersendiri. Tidak ada hal baru yang ditawarkan kedua calon, hanya seputar pengenalan pendidikan pancasila sejak TK dan PAUD, serta bagaimana politis memberi tauladan mengamalkan perilaku terpuji.
            Penantang dan petahana seharusnya mampu mendeskripsikan Pancasila secara historis, rasional dan aktual. Bahkan memberikan saran dan kritik terhadap pelaksanaan pembelajaran Pendidikan Pancasila di sekolah. Bagaimana pancasila diperkenalkan tetapi tidak menjadi media indoktrinasi yang menguntungkan penguasa, serta bagaimana strategi efektif pancasila yang mampu menyelesaikan segala persoalan bangsa.
            Ideologi bangsa yang kurang diperhatikan pada debat pilpres yang lalu, menyadarkan kita betapa kurang berpengaruhnya faktor ideologi dalam pesta demokrasi baik secara keterpilihan maupun perilaku. Faktanya dinamika pemilu presiden 2019 banyak melahirkan konflik yang tidak perlu, mulai dari konflik identitas sampai adu jotos antar pendukung.
Apabila direnungkan apakah sifat tersebut telah sesuai dengan Pancasila, jika menjawab “iya” maka ada yang salah dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Wajar apabila dalam pesta politik selalu penuh dengan intrik, tetapi tidak harus membuat negara pecah.
            Pengalaman Pancasila berfokus pada perilaku sehari-hari warga negara, ketika maraknya kasus kejahatan, siapa yang mau disalahkan, apabila pihak yang  berwenang tidak sampai mau berurusan.



Tanggung Jawab siapa?
            Mengemban amanah sebagai pendidik yang berfokus pada pengembangan moral dan karakter siswa, memanglah berat karena begitu banyak hambatan serta tantangan baik dari luar maupun dalam. Jika tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka pendidikan Pancasila menjadi mata pelajaran yang paling tepat untuk mewujudkan segala idealisme tersebut.
            Apabila hanya menjadi tanggung jawab guru PKn maka segala idealisme tersebut tidak akan terwujud. Maka diperlukan bantuan dari pihak penguasa, yang jelas merupakan penanggung jawab utama dalam membentuk warga negara yang baik dan cerdas. Logis rasanya apabila penguasa harus memberikan perhatian penuh terhadap kebijakan ideologi baik pada bidang pendidikan maupun rahan kebijakan.
            Karena yang dipertaruhkan adalah keberadaan negara itu sendiri, bukan menjadi rahasia, sifat hedonisme, individualisme, konsumerisme sudah marak ditemukan pada keseharian masyarakat. Apabila terus dibiarkan, dan tidak diatasi melalui strategi kebijakan yang efektif,  maka pengamalan Pancasila hanya sebatas jargon saja.
Pemilu merupakan musim yang dinamis, segala sesuatu halnya selalu sensitif, dan menjadi perbincangan berbagai elemen masyarakat. Isu sara, terlebih agama menjadi komoditas paling efektif yang digunakan oleh oknum untuk mendulang suara terbaik publik, memaksa bangsa terjebak pada konflik horizontal, yang tidak berkesudahan.
            Gerakan kampanye yang tidak sehat “asal bukan Jokowi” serta “asal bukan Prabowo”, begitu memprihatinkan, masyarakat telah diracuni oleh fanatisme buta, sehingga akal sehatnya dalam berpolitik menjadi hilang. Bila petahana dan penantang peka akan permasalahan tersebut, sudah sewajarnya mereka serius dalam merancang program yang berkaitan dengan ideologi negara.
            Idealnya jika seluruh masyarakat mengamalkan pancasila dalam kesehariannya, potensi konflik pasti berkurang, karena mengutamakan persatuan dan saling bertoleransi. Dengan kata lain Pancasila belum sepenuhnya diamalkan oleh bangsa kita, dan lebih mengecewakan adalah dua kubu saling klaim paling “pancasila”.
            Sehingga pancasila hanya diidentikan pada simbol-simbol tertentu saja, tidak pada ranah esensial, dan mengakibatkan narasi anti Pancasila terlebih pada musim pemilu begitu bergema di Indonesia. Narasi “anti Pancasila” jika dikaji secara akademis pasti menimbulkan berbagai asumsi, serta perlu riset yang berkelanjutan secara komprehensif, untuk mendeskripsikan bagaimana perilaku yang memang “anti Pancasila”.

Negara Pancasila
Ketika petahanan dan penantang telah mengikrarkan bahwa mereka “pancasilais” maka buktikanlah dengan menularkan kepada setiap pendukungnya melalui ketauladanan. Karena meraka sebagai calon pemimpin bangsa, berarti hebat secara kapasitas serta kapabilitas, dan menjadi seorang yang layak diikuti.
Sebagai negara yang telah mengikrarkan pancasila sebagai ideologi negaranya, tentu Indonesia telah meyakini bahwa pancasila mampu menyelesaikan berbagai persoalan bangsa serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga pancasila bukan sebatas jargon, dan ajakan persuasif petahana dan penantang saja, tetapi mereka harus memberikan gambaran “apa”, “kapan”, “siapa saja” serta “bagaimana”, strategi efektif dalam meninternalisasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.


No comments:

Post a Comment

Post Top Ad

Your Ad Spot

Pages