Oleh : Agil Nanggala, S.Pd.
Peran
ideologi sangat vital bagi peradaban bangsa, karena memberi pedoman untuk
hidup, serta menentukan arah pembangunan. Indonesia telah sepakat menggunakan
Pancasila sebagai ideologi bangsa, karena diterima oleh semua kalangan, serta bersumber
dari kebudayaan bangsa itu sendiri.
Tidak diperhatikan pada Pilpres
Debat calon Presiden pada Sabtu, 30 Maret 2019, yang
mengangkat tema seputar ideologi dan keamanan, seharusnya menjadi debat menarik,
karena merepresentasikan bagaimana calon memandang ideologi negara, serta turut
mengenalkannya pada khalayak umum.
Tetapi yang disuguhkan, hanya
pernyataan-pernyataan yang normatif dan umum, konsep Pancasila yang tidak
dielaborasi oleh para calon, menjadi sebuah kekecewaan bagi publik tersendiri. Tidak
ada hal baru yang ditawarkan kedua calon, hanya seputar pengenalan pendidikan
pancasila sejak TK dan PAUD, serta bagaimana politis memberi tauladan
mengamalkan perilaku terpuji.
Penantang dan petahana seharusnya
mampu mendeskripsikan Pancasila secara historis, rasional dan aktual. Bahkan
memberikan saran dan kritik terhadap pelaksanaan pembelajaran Pendidikan
Pancasila di sekolah. Bagaimana pancasila diperkenalkan tetapi tidak menjadi
media indoktrinasi yang menguntungkan penguasa, serta bagaimana strategi
efektif pancasila yang mampu menyelesaikan segala persoalan bangsa.
Ideologi bangsa yang kurang
diperhatikan pada debat pilpres yang lalu, menyadarkan kita betapa kurang
berpengaruhnya faktor ideologi dalam pesta demokrasi baik secara keterpilihan
maupun perilaku. Faktanya dinamika pemilu presiden 2019 banyak melahirkan
konflik yang tidak perlu, mulai dari konflik identitas sampai adu jotos antar
pendukung.
Apabila
direnungkan apakah sifat tersebut telah sesuai dengan Pancasila, jika menjawab
“iya” maka ada yang salah dalam konsep kehidupan berbangsa dan bernegara kita.
Wajar apabila dalam pesta politik selalu penuh dengan intrik, tetapi tidak
harus membuat negara pecah.
Pengalaman Pancasila berfokus pada
perilaku sehari-hari warga negara, ketika maraknya kasus kejahatan, siapa yang
mau disalahkan, apabila pihak yang
berwenang tidak sampai mau berurusan.
Tanggung Jawab siapa?
Mengemban amanah sebagai pendidik
yang berfokus pada pengembangan moral dan karakter siswa, memanglah berat
karena begitu banyak hambatan serta tantangan baik dari luar maupun dalam. Jika
tujuan pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka pendidikan Pancasila
menjadi mata pelajaran yang paling tepat untuk mewujudkan segala idealisme
tersebut.
Apabila hanya menjadi tanggung jawab
guru PKn maka segala idealisme tersebut tidak akan terwujud. Maka diperlukan
bantuan dari pihak penguasa, yang jelas merupakan penanggung jawab utama dalam
membentuk warga negara yang baik dan cerdas. Logis rasanya apabila penguasa
harus memberikan perhatian penuh terhadap kebijakan ideologi baik pada bidang
pendidikan maupun rahan kebijakan.
Karena yang dipertaruhkan adalah
keberadaan negara itu sendiri, bukan menjadi rahasia, sifat hedonisme, individualisme, konsumerisme
sudah marak ditemukan pada keseharian masyarakat. Apabila terus dibiarkan, dan
tidak diatasi melalui strategi kebijakan yang efektif, maka pengamalan Pancasila hanya sebatas
jargon saja.
Pemilu
merupakan musim yang dinamis, segala sesuatu halnya selalu sensitif, dan
menjadi perbincangan berbagai elemen masyarakat. Isu sara, terlebih agama
menjadi komoditas paling efektif yang digunakan oleh oknum untuk mendulang
suara terbaik publik, memaksa bangsa terjebak pada konflik horizontal, yang
tidak berkesudahan.
Gerakan kampanye yang tidak sehat
“asal bukan Jokowi” serta “asal bukan Prabowo”, begitu memprihatinkan,
masyarakat telah diracuni oleh fanatisme buta, sehingga akal sehatnya dalam
berpolitik menjadi hilang. Bila petahana dan penantang peka akan permasalahan
tersebut, sudah sewajarnya mereka serius dalam merancang program yang berkaitan
dengan ideologi negara.
Idealnya jika seluruh masyarakat
mengamalkan pancasila dalam kesehariannya, potensi konflik pasti berkurang,
karena mengutamakan persatuan dan saling bertoleransi. Dengan kata lain
Pancasila belum sepenuhnya diamalkan oleh bangsa kita, dan lebih mengecewakan
adalah dua kubu saling klaim paling “pancasila”.
Sehingga pancasila hanya diidentikan
pada simbol-simbol tertentu saja, tidak pada ranah esensial, dan mengakibatkan
narasi anti Pancasila terlebih pada musim pemilu begitu bergema di Indonesia.
Narasi “anti Pancasila” jika dikaji secara akademis pasti menimbulkan berbagai
asumsi, serta perlu riset yang berkelanjutan secara komprehensif, untuk
mendeskripsikan bagaimana perilaku yang memang “anti Pancasila”.
Negara Pancasila
Ketika
petahanan dan penantang telah mengikrarkan bahwa mereka “pancasilais” maka buktikanlah
dengan menularkan kepada setiap pendukungnya melalui ketauladanan. Karena
meraka sebagai calon pemimpin bangsa, berarti hebat secara kapasitas serta
kapabilitas, dan menjadi seorang yang layak diikuti.
Sebagai
negara yang telah mengikrarkan pancasila sebagai ideologi negaranya, tentu
Indonesia telah meyakini bahwa pancasila mampu menyelesaikan berbagai persoalan
bangsa serta membawa kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia.
Sehingga
pancasila bukan sebatas jargon, dan ajakan persuasif petahana dan penantang
saja, tetapi mereka harus memberikan gambaran “apa”, “kapan”, “siapa saja”
serta “bagaimana”, strategi efektif dalam meninternalisasi nilai-nilai
pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
No comments:
Post a Comment