Sudah lama mungkin kita mengenal istilah retorika, tapi sejauhmana kita
mengenal istilah retorika, itu terus berkembang. Demikian dekat kita dengan
istilah Retorika alangkah lebih baik kita benar-benar tahu dan memahami tentang
retorika.
Artikel ini sedikitnya akan memberikan pemahaman beberapa hal mengenai
retorika terutama retorika yang bersumber dari buku Jalaludin Rakhmat yang
berjudul Retorika Modern Pendekatan praktis.
Tiba-tiba buku ini
menjadi menarik karena di bagian awal bukunya menjelaskan mengenai sejarah
retorika, hal ini kemudian membuka pikiran saya perihal retorika yang tentunya
istilah ini menjadi dekat dengan saya dalam diskusi-diskusi yang dilakukan di
kampus. Kadang perdebatan yang terjadi berujung pada kalimat “Ah itu retorikamu
saja..” Sejenak setelah membaca buku ini saya berpikir, tidak ada yang salah
dengan retorika yang saya ucapkan, terutama ketika saya berdiskusi. Pemahaman
bahwa retorika adalah sesuatu yang bisa disandingkan dengan berkelit atau
hal-hal lain yang menjurus pada penurunan makna sebenarnya harus kita lihat
pada sejarah retorika itu sendiri apakah itu penurunan makna jika dilihat dari
masa sekarang atau sepert apa.
Jika kita melihat sejarahnya memang benar
bahwa dulu Retorika pada tahun kira-kira 465 SM retorika ini mirip dengan “ilmu
bersilat lidah”, pada saat orang Syarcuse, sebuah koloni Yunani di Pulau
Sicilia melakukan revolusi dengan menumbangkan tirani kemudian setelah tirani
tumbang demokrasi mulai ditegakan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat
kepada pemilik yang sah Karena waktu itu tidak ada sertifikat dan pengacara
maka Setiap orang harus meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering
orang tidak berhasil memperoleh kembali tanahanya hanya karena tidak pandai
bicara. Seperti dalam Rakhmat (2012: 2) bahwa:
Untuk membantu orang
memenangkan haknya di pengadilan, Corax
menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne
Logon (seni kata-kata). Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para
penulis se-zaman, kita mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang
“teknik kemungkinan”. Bila kita memulai sesuatu mulailah dari kemungkinan umum.
Seorang kaya mencuri
dan dituntut dipengadilan untuk pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan,
kita bertanya, “Mungkinkah seseorang yang berkecukupan mengorbankan
kehormatannya untuk mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya ia tidak pernah
diajukan ke pengadilan karena mencuri”. Sekarang seorang miskin mencuri dan
diajukan ke pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, “ ia pernah mencuri
dan pernah dihukum. Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”.
Akhirnya, Retorika memang mirip “ilmu silat lidah”.
Memang pada dasarnya
definisi retorika atau seni berbicara ini berkembang menurut zamannya pada zaman
ini memang retorika mirip dengan “ilmu silat lidah seperti telah disampaikan di
atas. Bahkan meneruskan cerita di
Syracuse, Demokrasi disini tidak berjalan lama tapi ajaran Corax tetap berpengaruh.
Konon, Gelon, Penguasa yang menggulingkan
demokrasi dan menegakan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena
ia tiran yang kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya.
Sampai di Negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkan. Ia
terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya,
tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak pernah
dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi
menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax. Rakhmat
(1992:4)
Pada
saat itu dapat diketahui bahwa retorika mampu muncul sebagai seni berbicara
yang mampu melancarkan seseorang hingga lolos dari hukuman. Selain terkenal
sebagai teknik kemungkinan corax juga meletakan beberapa organisasi pesan
seperti dalam Rakhmat (1992:2) menyatakan bahwa “Di samping teknik kemungkinan,
Corax meletakan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi pidato dalam lima
bagian: Pembukaan, uraian, argumen dan penjelasan tambahan dan kesimpulan. Dari
sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato”.
Perkembangan
retorika terus berjalan seiring dengan kebutuhan, bahkan muncul sekolah
retorika yang didirikan oleh Gorgias, bukan hanya itu Gorgias menekankan bahasa
yang puitis dan teknik berbicara impromtu dan ia meminta bayaran yang mahal untuk
seorang murid sekitar 10.000 drachma. Perkembangan sekolah retorika ini muncul
seperti memenuhi kebutuhan “pasar” bahkan ini sudah diperkirakan oleh
Artistoteles sebelumnya. Aristoteles (dalam Rakhmat 1992:4) “ Ia mengajarkan
prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena”.
Hal ini diungkapkan aristoteles pada masa seorang filsuf, mistikus, politisi
dan sekaligus orartor dia adalah Empedocles (490-430 SM) ia juga pernah berguru
pada Pythagoras dan menulis The Nature of
Things.
Perjalanan
panjang perkembangan retorika dikalangan fisuf yunani ini akan panjang apabila
diurai dalam tulisan ini secara keseluruhan, saya tertarik setelah cerita
panjang perkembangan retorika ini. Seorang Murid Socrates yaitu plato yang
menerima pendapat gurunya tentang
shopisme.
Plato
menjadikan Gorgias dan socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika
yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Shopisme dan retorika yang
berdasarkan pada filasafat. Plato telah mengubah retorika sebagai sekumpulan
teknik (shopisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang
berjudul De Arte Rhetorica.
Dari
Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan
pidato terkenal sebagai lima hukum retorika (The Five canon of Rhetoric)
Lima hukum retorika
tersebut diawali dengan penemuan seperti halnya dalam Rakhmat (2012 :6) “Invention (penemuan). Pada tahap ini,
pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi
yang paling tepat”.
Kemudian dilanjutkan
dengan penyusunan seperti dalam Rakhmat (2012: 7) “Dipositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato
atau mengorganisasikan pesan”.
Setelah penemuan
dilanjutkan dengan gaya seperti dalam Rakhmat (2012 :8) “Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan
menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya”.
Kemudian dilanjutkan
dengan memori Seperti dalam Rakhmat (2012 :8)” Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa
yang igin disampaikannya dengan mengatur bahan-bahan pembicaraan”.
Terakhir dari Lima
tersebut adalah penyampaian Seperti dalam Rakhmat (2012 :8) “Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap
ini, pembicara menyapaikan pesannya secara lisan”.
Berikut
sekilas tentang Retorika, untuk selanjutnya sejarah retorika ini dilanjut pada
Retorika Zaman Romawi, Retorika Abad Pertengahan, dan Retorika Modern. Hal ini
bisa dilihat jelas pada uraian yang buku sumber yang saya jadikan referensi. Poin
penting yang ingin saya samapaikan bahwa retorika bukan merupak seni bersilat
lidah tapi menurut perkembangannya berubah menjadi ilmiah yang merupakan hasil
pemikiran bukan hanya sekadar berkata tak bermakna. Terimakasih telah
mengunjungi blog saya. Apabila ada saran silakan isi pada kolom komentar.
Sumber :
Rakhmat, Jalaluddin. (2012). Retorika Modern Pendekatan Praktis. Rosda
Terimakasih telah membaca artikel kami silakan tekan tombol follow untuk mengikuti updatean terbaru blog kami, dan tinggalkan komentar untuk membangun blog kami agar lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment